Sabtu, 02 Juli 2022
BELAJAR MEMBACA BAGI ANAK USIA DINI
Persoalan membaca dan menulis merupakan fenomena tersendiri khususnya di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai diajarkan pada tingkat pendidikan SD. Pada perkembangan terakhir, hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan Taman Kanak-kanak belum mendapat pelajaran membaca dan menulis. Sehingga banyak institusi pendidikan SD mentargetkan kemampuan calistung sebagai pra syarat masuk SD, bahkan SD hanya mau menerima anak-anak yang sudah bisa membaca, menulis dan berhitung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar.
Berdasarkan teori Piaget, usia 2-7 tahun anak-anak baru memasuki masa praoperasional. Pada rentang usia ini anak baru mengembangkan keterampilan berbahasa dan menggambar, namun belum dapat berfikir abstrak atau logika. Cara belajar membaca dengan metode yang sangat formal, seperti kewajiban menghafal nama huruf, lalu mengeja gabungan huruf, akan menguras konsentrasi tinggi sehingga tidak sesuai untuk anak usia dini.
Beberapa pihak berpendapat pengajaran membaca yang dilakukan terlalu dini akan menyebabkan efek buruk pada anak-anak, yaitu terampasnya masa bermain.
Bermain adalah kegiatan yang terjadi secara alamiah pada anak-anak, bermain berguna untuk membantu anak-anak memahami dan mengungkapkan dunianya baik dalam taraf berfikir maupun perasaan. Bermain memberi anak perasaan menguasai (master) atau mampu mengendalikan hal-hal yang ada dalam dunianya. Bermain mencakup penggunaan simbol, tindakan atau obyek yang mempunyai arti untuk diri mereka sendiri. Karena bermain tidak terkait pada realitas, maka dimungkinkan bagi anak untuk mengubah-ubah menatanya, dimana hal ini juga penting dalam perkembangan pemahaman mereka, sama halnya dengan perkembangan kreativitas.
Namun, berdasarkan temuan pengalaman beberapa ahli pembelajaran dewasa ini, sesungguhnya bukan patokan usia yang paling besar menentukan boleh atau tidaknya anak belajar membaca, melainkan bagaimana caranya mengajarkan keterampilan membaca tanpa membuat anak-anak menjadi stres dan kehilangan kesenangan bermainnya.
Karena itu, penting untuk menciptakan suasana belajar membaca menjadi saat yang menyenangkan bagi anak-anak, sama seperti ketika mereka bermain bola atau bermain boneka. Seperti pendapat Gordon Dryden, belajar membaca seharusnya menjadi proses yang menyenangkan dan alami.
Mengajarkan keterampilan membaca bisa dengan berdifusi dalam keseharian anak-anak, tanpa membuat mereka kehilangan masa bermainnya.
Metode yang sesuai untuk anak usia dini akan membuat anak tertarik untuk belajar membaca dengan tawa riang dan mengijinkan anak untuk bergerak. Karena proses belajar yang kaku akan terasa berat bagi anak. Seperti pendapat Glenn Doman, anak-anak kecil ingin sekali belajar sampai mereka tidak dapat membedakan antara belajar dan bermain.
Dengan pendekatan bermain, dalam jadwal yang fleksibel, tidak terikat durasi waktu dan target yang ketat, anak-anak bisa mempelajari apapun, termasuk belajar membaca dan pelajaran yang berbasis logika. Sehingga kegiatan belajar membaca menjadi kegiatan yang menggembirakan dalam keseharian anak dan bukan paksaan.
Persepsi tentang belajar akan sangat berpengaruh pada cara menemani dan mengarahkan anak-anak belajar. Jika memahami kegiatan belajar sebagai kegiatan terstruktur, harus duduk manis dan diam, maka anak usia dini tidak akan menyukainya.
Belajar yang efektif untuk mencapai tujuan belajar anak usia dini adalah dengan pendekatan bermain dan bergembira. Sebagai orangtua atau pendidik, pandai-pandailah menarik minat belajar anak. Montessori meyakinkan bahwa lingkungan harus kaya motif sehingga mampu merangsang minat untuk beraktivitas dan memancing anak-anak untuk menjalani pengalamannya sendiri.
Dalam memperkenalkan nama-nama dan bunyi huruf alphabet pada anak-anak, jika menggunakan cara yang biasayaitu hanya dengan menunjukkan huruf yang tertera di buku lalu membacakannya dengan cara yang kaku, makaanak tidak akan berminat. Tetapi bila memperkenalkan nama-nama dan bunyi huruf alphabet dengan menggunakan poster huruf berwarna atau kartu huruf, lalu kenalkan huruf dengan lagu, tampilkan ekspresi wajah yang riang di hadapan anak-anak, tentu akan menarik minat mereka.
Jika anak sudah berminat,akan terlihat respon dari anak-anak, maka orangtua atau pendidik tinggal konsisten untuk mengulanginya pada hari yang lain dengan durasi waktu sesuai dengan daya tahan anak. Jangan sampai memaksakan belajar pada anak yang tampak tidak berminat. Karena semakin dipaksakan, maka anak akan semakin menjauh dan mogok belajar.
Mengajarkan membaca pada anak, perlu menjaga kondisi emosi, karena anak-anak sangat peka. Jika kita mengajak belajar pada anak pada saat suasana hati sedang tidak nyaman, dengan cepat mereka akan mampu mendeteksi hal tersebut. Karena nada suara dan raut wajah jarang bisa dimanipulasi. Dampak ketika anak mendeteksi suasana tidak nyaman, mereka akan menolak belajar bersama. Seperti pendapat Gordon Dryden, emosi adalah gerbang ke arah belajar. Karena itu, penting menghadirkan emosi positif dalam kegiatan belajar.
Metode sederhana yang diciptakan sendiri dan disajikan dengan setulus hati pada anak-anak, jauh lebih berpengaruh pada mereka dibandingkan dengan setumpuk alat belajar yang mahal yang dipaksakan pada anak tanpa menghadirkan “hati” bersama mereka.
Anak usia dini belajar tidak terstruktur. Jika pembelajaran di sekolah dibuat tersusun rapi, mengikuti kurikulum dan silabus yang berurutan, maka fakta sebaliknya terjadi pada anak usia dini. Mereka bisa belajar pada saat-saat yang tidak terduga. Mungkin pada saat bermain pasir atau menyusun puzzle di sekolah, atau pada saat bersantai bersama orangtua di rumah. Kepekaan orangtua dan pendidik perlu ditingkatkan untuk memanfaatkan antusias anak dalam belajar kapan saja dan di mana saja.
Metode belajar membaca sangat bervariasi dengan kelebihan dan kekurangannya. Metode dasar belajar membaca bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu metode kata, suku kata dan mengeja. Kita dapat memilih atau menggunakan ketiga metode ini sekaligus dengan pendekatan yang lebih personal sesuai karakteristik anak.
Dalam belajar membaca bisa menggunakan berbagai sarana untuk belajar, baik buku, worksheet, poster, kaset dan sebagainya. Terlebih bagi anak-anak yang cenderung cepat bosan belajar dengan satu cara, maka belajar dengan multimetode akan sangat membantu orangtua atau pendidik untuk memancing kembali minat belajar anak. Dengan metode gabungan, proses belajar bisa menjadi lebih cepat. Karena kedua sisi otak, otak kiri (logis dan rasional) dan otak kanan (kreatif) akan tersentuh.
Variasi semua metode akan membuat kegiatan belajar menjadi lebih dinamis dan kegiatan belajar membaca menjadi kegiatan yang mengasyikkan.
(Tulisan April 2015, pernah dimuat di Majalah Pendidikan Kandaga)
Ilustrasi: Gibran (keponakan) saat umur 3 tahun, asyik membaca buku bantal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar